Kamis, 17 Mei 2012

UU NO 2 TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik; b. bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik perlu diubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik. 3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD. 4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik. 6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 7. Kementerian adalah Kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta pada ayat (4) ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris. (1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain. (2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. (4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; h. sistem kaderisasi; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik; k. pendidikan politik; l. keuangan Partai Politik; dan m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik. (5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan e. rekening atas nama Partai Politik. 4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). (2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. (3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi. (4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai Politik. (2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. (3) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. (4) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. 6. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a), sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. (3a) Kepengurusan Partai Politik tingkat kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. (4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan. 8. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. (2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru. (3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. 9. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. (1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. (3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART. 10. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. (5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. 11. Ketentuan Pasal 33 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. 12. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b) serta ayat (4) diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. (3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. (3a) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. (3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; c. pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan. (4) Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (3a) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 13. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A (1) Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (2) Audit laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (3) Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. 14. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan c. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik. 15. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Pengelolaan keuangan Partai Politik dilakukan secara transparan dan akuntabel. (2) Pengelolaan keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodik. (3) Partai Politik wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yang meliputi: a. laporan realisasi anggaran Partai Politik; b. laporan neraca; dan c. laporan arus kas. 16. Ketentuan Pasal 45 diubah, sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian. 17. Ketentuan Pasal 47 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 47 berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. (5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. 18. Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b) dan ayat (1c), sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi. (1a) Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum. (1b) Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014. (1c) Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sampai akhir periode keanggotaannya. (2) Perubahan AD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m wajib dipenuhi pada kesempatan pertama diselenggarakan forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan. (3) Dihapus. (4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. (5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 8 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK I. UMUM Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, Pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam penataan dan penyempurnaan Partai Politik di Indonesia adalah persyaratan pembentukan Partai Politik, persyaratan kepengurusan Partai Politik, perubahan AD dan ART, rekrutmen dan pendidikan politik, pengelolaan keuangan Partai Politik dan kemandirian Partai Politik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain” adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain. Huruf c Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten di provinsi lain. Huruf d Yang dimaksud dengan “kantor tetap” adalah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap. Huruf e Cukup jelas. Angka 4 Pasal 4 Ayat (1) Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Kementerian bekerja sama dengan instansi terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 32 Ayat (1). Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 34A Cukup jelas. Angka 14 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah akuntan yang terdaftar dalam organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesia. Yang dimaksud dengan “diumumkan secara periodik” adalah dipublikasikan setiap setahun sekali melalui media massa. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 47 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 51 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5189 PENDAFTARAN & VERIFIKASI PARPOL BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 2011 Hasil pengarahan Menteri Hukum dan HAM RI, Dirjen Administrasi Hukum Umum dan Menteri Dalam Negeri RI yang diwakili oleh Dirjen Kesbangpol pada hari Rabu tanggal 16 Februari 2011 bertempat di Gedung Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia adalah sebagai berikut : Pertama, Tindak lanjut dari disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, telah diundangkan sejak tanggal 5 Januari 2011, bahwa untuk mempersiapkan langkah-langkah penerimaan pendaftaran dan verifikasi partai politik, Badan Kesbangpol & Linmasda dan instansi terkait melaksanakan pemeriksaan, pengujian dan pembuktian kelengkapan dan kebenaran persyaratan partai politik atas limpahan kewenangan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, selain itu melaksanakan sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai politik secara berjenjang kepada kabupaten/kota se Jawa Barat dan melaksanakan tugas memberikan Surat Keterangan bagi Partai Politik di Provinsi sesuai dengan Surat Mendagri Nomor 210/139.D.IV Tanggal 4 Februari 2011; Kedua, Sebagai pedoman teknis telah diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-04.11.01 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Penyesuaian Partai Politik Berbadan Hukum dan Partai Politik Baru menjadi Badan Hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Surat Mendagri Nomor 210/139.D.IV Tanggal 4 Februari 2011 tentang Surat Keterangan Bagi Partai Politik yang telah melaporkan kepengurusan di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Ketiga, Pelaporan kepengurusan partai politik dilaksanakan secara berjenjang dengan melengkapi persyaratan administratif yang meliputi : Nama & Jabatan pengurus; nama partai politik, tingkat kepengurusan, SK kepengurusan, Alamat kantor sekretariat dan surat pernyataan pengurus tidak merangkap sebagai anggota partai politik lain. Keempat, Berdasarkan jenjang pemerintahan maka surat keterangan bagi partai politik adalah sebagai berikut : a. Partai politik di tingkat kecamatan melaporkan kepengurusannya kepada Camat dan diberikan surat keterangan oleh Camat; b. Partai politik di tingkat Kabupaten/Kota melaporkan kepengurusannya kepada Bupati/Walikota melalui Badan/Kantor Kesbangpol & linmas Kabupaten/Kota dengansyarat minimal terdapat kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kotayang bersangkutan dibuktikan dengan surat keterangan kepengurusan partai politik dari camat; c. Partai politik di tingkat Provinsi melaporkan kepengurusannya kepada Gubernur melalui Badan Kesbangpol & Linmasda Provinsi Jawa Barat dengan salah satu syarat adalah jumlah kepengurusan di Kabupaten/kota minimal 75% dari jumlah Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Pengurus Parpol dari Kesbangpol Kabupaten/Kota. Kelima, Berdasarkan Surat Mendagri Nomor 210/139.D.IV Tanggal 4 Februari 2011 tentang Surat Keterangan Bagi Partai Politik yang telah melaporkan kepengurusan di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota agar menugaskan Kepala Badan Kesbang dan Politik Provinsi dan Kabupaten/Kota atau sebutan lainnya serta Camat untuk menerbitkan Surat Keterangan bagi partai politik yang telah melaporkan Kepengurusan di Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan di wilayah kerja masing-masing. Perbandingan UU no 2 tahun 2008 dengan UU no 2 tahun 2011 tentang Partai Politik Ditulis oleh Staf Progdat Rabu, 09 Februari 2011 14:24 Dibawah ini adalah Perbandingan UU no 2 tahun 2008 yang diubah oleh UU no 2 tahun 2011 Perhatian : huruf yang dicetak tebal adalah perubahan yang tertulis di UU no 2 tahun 2011 huruf yang dicoret adalah ayat UU no 2 tahun 2008 yang diubah. huruf yang berwarna biru adalah ayat tambahan/sisipan yang ditambahkan dalam UU no 2 tahun 2011 huruf yang berwarna merah adalah ayat yang dihapus dari UU no 2 tahun 2008 huruf yang diberi blok kuning adalah penjelasan dan catatan Klik disini untuk versi PDF Index: 1. BAB I KETENTUAN UMUM 2. BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK 3. BAB III PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK 4. BAB IV ASAS DAN CIRI 5. BAB V TUJUAN DAN FUNGSI 6. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN 7. BAB VII KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA 8. BAB VIII ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN 9. BAB IX KEPENGURUSAN 10. BAB X PENGAMBILAN KEPUTUSAN 11. BAB XI REKRUTMEN POLITIK 12. BAB XII PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK 13. BAB XIII PENDIDlKAN POLITIK 14. BAB XIV PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK 15. BAB XV KEUANGAN 16. BAB XVI LARANGAN 17. BAB XVII PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK 18. BAB XVIII PENGAWASAN 19. BAB XIX SANKSI 20. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN 21. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik. 3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD. 4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik. 6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Kementerian adalah Kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. KEMENKUMHAM BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK Pasal 2 1. Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. 1. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris. 2. (1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain. 2. Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 3. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. 4. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; h. sistem kaderisasi; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik; k. pendidikan politik; l. keuangan Partai Politik; dan m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 3 1. Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum. 2. Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; Yang dimaksud dengan ”mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain” adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain. c. kantor tetap; kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten di provinsi lain. d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan Yang dimaksud dengan “kantor tetap” adalah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap. e. memiliki rekening atas nama Partai Politik. Pasal 4 1. Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Kementerian bekerja sama dengan instansi terkait. 2. Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. 3. Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi. 4. Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB III PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK Pasal 5 1. Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai Politik. 2. Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. 3. Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. 4. Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. Pasal 6 Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris. Pasal 7 1. Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. 2. Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 3. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 8 Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh Menteri. BAB IV ASAS DAN CIRI Pasal 9 1. Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan citacita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB V TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 10 1. Tujuan umum Partai Politik adalah: a. Mewujudkan cita-cita nasional bartgsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Tujuan khusus Partai Politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3. Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Pasal 11 1. Partai Politik berfungsi sebagai sarana: 2. a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupanm bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3. b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 12 Partai Politik berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 13 Partai Politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang - undangan; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat; i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat. BAB VII KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA Pasal 14 1. Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin. 2. Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART. Pasal 15 1. Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. 2. Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. 3. Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik. Pasal 16 1. Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART. 2. Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik. Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART. 3. Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB VIII ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 17 1. Organisasi Partai Politik terdiri atas: a. organisasi tingkat pusat; b. organisasi tingkat provinsi; dan c. organisasi tingkat kabupaten/kota. 2. Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. 3. Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Pasal 18 1. Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. 2. Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. 3. Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. BAB IX KEPENGURUSAN Pasal 19 1. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. 2. Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. 3. Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. (3a) Kepengurusan Partai Politik tingkat kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. 4. Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan. Pasal 20 Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Pasal 21 Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 22 Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART. Pasal 23 1. Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. 2. Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan. Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru. 3. Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. Pasal 24 Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan. Pasal 25 Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Pasal 26 1. Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/ atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama. 2. Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh Undang-Undang ini. BAB X PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 27 Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis. Pasal 28 Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART Partai Politik. BAB XI REKRUTMEN POLITIK Pasal 29 1. Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. (1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 2. Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. 3. Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART. BAB XII PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK Pasal 30 Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. BAB XIII PENDIDlKAN POLITIK Pasal 31 1. Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. 2. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila. BAB XIV PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK Pasal 32 1. Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik 2. Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. 3. Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. 4. Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. 5. Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal 33 1. Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. 2. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 3. Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. BAB XV KEUANGAN Pasal 34 1. Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 2. Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. 3. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. (3a) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. (3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan c. pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan. 4. Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (3a) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 34A 1. Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. 2. Audit laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. 3. Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. Pasal 35 1. Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan c. perusahaan dan/ atau badan usaha, paling banyak senilai Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/ atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. 2. Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik. Pasal 36 1. Sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai Politik. 2. Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik. 3. Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik. Pasal 37 Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Pasal 38 Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat. Pasal 39 Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART. 1. Pengelolaan keuangan Partai Politik dilakukan secara transparan dan akuntabel. 2. Pengelolaan keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodik. Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah akuntan yang terdaftar dalam organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesia. Yang dimaksud dengan “diumumkan secara periodik” adalah dipublikasikan setiap setahun sekali melalui media massa. 3. Partai Politik wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yang meliputi: a. laporan realisasi anggaran Partai Politik; b. laporan neraca; dan c. laporan arus kas. BAB XVI LARANGAN Pasal 40 1. Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. nama atau gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain. 2. Partai Politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Partai Politik dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik. 4. Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/ atau memiliki saham suatu badan usaha. 5. Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. BAB XVII PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK Pasal 41 Partai Politik bubar apabila: a. membubarkan diri atas keputusan sendiri; b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 42 Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART. Pasal 43 1. Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dapat dilakukan dengan cara: a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu Partai Politik. 2. Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 3. Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 44 1. Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 di beritahukan kepada Menteri. 2. Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 45 Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen. Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian. BAB XVIII PENGAWASAN Pasal 46 Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang. BAB XIX SANKSI Pasal 47 1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian. 2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah. 3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan. 4. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. 5. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 48 1. Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri. 2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan semen tara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun. 3. Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. 4. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. 5. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. 6. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara. 7. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 49 1. Setiap orang atau perusahaan danjatau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya. 2. Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima. 3. Sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara. Pasal 50 Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 1. Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya. Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi. (1a) Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum. Catatan : mengacu pada Pemilu Legislatif sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor : 51 Tahun 2009 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 dimana pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009, maka jika tidak ada perubahan politik dan hukum Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014. (1b) Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014. (1c) Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sampai akhir periode keanggotaannya. 2. Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan, Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan. Perubahan AD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m wajib dipenuhi pada kesempatan pertama diselenggarakan forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan. 3. Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut Undang-Undang ini. 4. Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 5. Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. presentase UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik — Presentation Transcript • 1. ” UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK ” Disampaikan Oleh : A. TANRIBALI L. Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Disampaikan Pada :PERTEMUAN KESBANGPOL PROVINSI SELURUH INDONESIA DAN PIMPINAN PARTAI POLITIK TINGKAT NASIONAL Jakarta, 16 Februari 2011 • 2. LATAR BELAKANGBerdasarkan Pasal 28 Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa”kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.Kebebasan membentuk partai sesuai denganUndang-Undang.Penyempurnaan Undang-Undang Partai Politikyaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011tentang perubahan atas Undang-UndangNomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. • 3. TUJUANPenguatan demokrasi dan sisten kepartaianyang efektif;Penguatan kelembagaan, fungsi dan peranpartai politik;Pergeseran sistem politik mendorong sistempolitik Multi partai sederhana.Untuk menjamin efektifitas pemerintahan,Menghindari belenggu elit partai kecil ataugurem. • 4. PENELITIAN/VERIFIKASI PARPOL Psl 27 huruf d UUPsl 51 No.32/2004UU No.2/2011 KDH bertugas mengembangkan demokrasi Kesbangpol Prov, Kab/Kota dan Kecamatan • 5. PERAN KESBANGPOL PROVINSI DAN KAB/KOTA1. Sosialisasi mengenai kegiatan penelitian /verifikasi.2. membentuk Tim melibatkan Instansi terkait.3. validasi data kantor sekretariat Partai Politik dengan meminta kepada Partai Politik surat keterangan domisili atau bukti sah status kantor sampai akhir April 2014. • 6. Lanjutan4. validasi data terhadap surat pernyataan pengurus tidak merangkap sebagai anggota Partai Politik.5. validasi data tentang tingkat kepengurusan dan SK kepengurusan. Menerbitkan Surat Keterangan Bagi Partai Politik Yang Telah Melaporkan Kepengurusannya SE MDN No 210/139/D.IV tgl 4 Feb 2011 • 7. PERAN CAMAT1. membentuk Tim melibatkan Instansi terkait.2. validasi data kantor sekretariat Partai Politik dengan meminta kepada Partai Politik surat keterangan domisili atau bukti sah status kantor sampai akhir April 2014. • 8. Lanjutan4. validasi data terhadap surat pernyataan pengurus tidak merangkap sebagai anggota Partai Politik. Menerbitkan Surat Keterangan Bagi Partai Politik Yang Telah Melaporkan Kepengurusannya SE MDN No 210/139/D.IV tgl 4 Feb 2011 • 9. POKOK-POKOK SUBSTANSI PERUBAHAN ATAS UU NO. 2 THN 2008 TTG PARPOL1. Pendirian Partai Pasal 2 ayat (1)2. Sebaran Kepengurusan Pasal 3 huruf c dan d3. Pendidikan Politik Pasal 34 ayat (3a dan 3b)4. Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dan Pengeluaran Bantuan Keuangan Parpol Pasal 34A5. Perselisihan Pasal 326. Verifikasi Pasal 51 • 10. PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK UU No.2 /2011Pasal 34 ayat (3a dan 3b) PENDIDIKAN POLITIK a. Pendalaman mengenai 4 pilar berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI ); b. Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; c. Pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan. REVISI PP NO 5 THN 2009 MENGATUR PENGGUNAAN DIKPOL 60 % DAN SEKRETARIAT 40 % • 11. LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN PARTAI POLITIK UU NO.2/2011 Pasal 34 A Parpol BPK Menyampaikan mengaudit 3 Laporan paling bln stlh TA lambat 1 bln stlh berakhir TA berakhir 1 bulan stlh audit 1 blnstlh audit Pemerintah Pusat/Prov/Kab/Kota • Putusan MK • • Begitu pengumuman penelitian dan verifikasi itu selesai disampaikan, beberapa kalangan berpendapat Kemenkumham melanggar UU Parpol. Mereka yang berpendapat demikian berpegang pada ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol, yang mengatur, verifikasi parpol harus selesai dilaksanakan paling lambat 2,5 tahun dari hari pemungutan suara pemilu. • • Dengan asumsi bahwa pemilu legislatif akan diadakan pada 9 April 2014 – lima tahun sejak Pemilu Legislatif 9 April 2009– mereka berpendapat bahwa verifikasi parpol harus selesai paling lambat 9 Oktober 2011. Dengan demikian, keputusan Kemenkumham menentukan batas akhir verifikasi pada 25 November dianggap melanggar UU Parpol tersebut. Pendapat beberapa pengamat tersebut seolah-olah benar. • • Namun, mereka melupakan satu hal penting, yaitu ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Parpol, yaitu putusan Nomor 15 Tahun 2011 dan Nomor 35 Tahun 2011. Atas kedua putusan tersebut, batas verifikasi harus selesai dalam 2,5 tahun tersebut menjadi tidak berlaku lagi. • • Dalam perkara 35/PUUIX/ 2011, MK bahkan dengan jelas mengatakan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai, “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah UU ini harus dilakukan paling lambat 2,5 (dua setengah tahun) sebelum hari pemungutan suara”. • • Sangat jelas putusan MK tersebut adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu hanya konstitusional jika dimaknai sesuai putusan MK tersebut. Itu artinya, MK mengubah Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol, dari awalnya verifikasi “selesai paling lambat 2,5 tahun” menjadi “dilakukan paling lambat dalam 2,5 tahun”. • Dengan demikian, pemahaman yang membatasi verifikasi parpol harus selesai paling lambat pada 9 Oktober 2011 sudah tidak valid lagi. Kita semua tentu paham benar perbedaan makna “harus diselesaikan dalam 2,5 tahun” dengan “harus dilakukan dalam 2,5 tahun”. Itulah sebabnya Kemenkumham kemudian menjadikan putusan MK tersebut sebagai dasar untuk menghitung ulang batas akhir verifikasi parpol. • • Setelah putusan MK, Kemenkumham memutuskan batas akhir pendaftaran pada 22 September 2011. Berpijak dari tanggal tersebut, batas akhir verifikasi harus diselesaikan pada 25 November 2011 dan batas akhir verifikasi harus disahkan pada 16 Desember 2011. Hal tersebut karena UU Parpol dan Peraturan Kemenkumham mengatur verifikasi harus dalam 45 hari kerja; sedangkan pengesahan harus dalam 15 hari kerja. • • Menghormati Hak Berpolitik • • Menimbang bahwa masa akhir verifikasi adalah pada 25 November 2011, Kemenkumham lebih memilih memaksimalkan masa verifikasi tersebut. Meskipun, untuk kepastian hukum, partai yang sudah lolos dan memenuhi syarat badan hukum, tetap diumumkan pada Jumat, 11 November tersebut. • • Sedangkan partai yang belum memenuhi syarat tetap diberi kesempatan hingga batas waktu terakhir. Tentang hasil verifikasi yang tidak diumumkan bersamaan tersebut bukanlah hal yang baru. Pada 2003, hasil verifikasi parpol yang diumumkan bergelombang tersebut juga pernah dilakukan. Kenapa Kemenkumham memberi kesempatan pada parpol yang belum lengkap? • • Di samping karena batas waktu verifikasi memang belum berakhir, yang jauh lebih penting adalah, Kemenkumham meyakini bahwa hak berpolitik— termasuk hak berpartai politik— adalah hak yang sangat penting untuk dijamin dalam suatu negara yang demokratis. Maka, untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak berpolitik tersebut, batas akhir verifikasi kami maksimalkan, dan konsekuensinya, parpol yang belum lengkap berkesempatan untuk memenuhi syarat berbadan hukum tersebut. • • Namun, perlu digaris bawahi, kesempatan ini bukan bentuk toleransi. Karena, jika sampai batas waktu tersebut parpol yang belum lengkap tersebut tetap tidak dapat memenuhi syarat berbadan hukum yang ditentukan UU Parpol, Kemenkumham tanpa ragu sedikit pun tetap tidak akan mengesahkan status badan hukum parpol tersebut. • • Kami menghormati betul hak berpolitik warga negara, namun pembatasan dan persyaratan yang ditentukan UU Parpol tetap harus dipenuhi, tidak boleh ditawar sedikit pun. Kami di Kemenkumham adalah abdi negara yang menjalankan amanah verifikasi parpol ini berdasarkan aturan main yang jelas dan berlaku sama untuk semua pihak yaitu UU Parpol, Putusan MK terkait, dan Peraturan Menkumham. • • Amanah ini akan kami jalankan dengan transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semuanya kami niati untuk membantu membenahi sistem berpolitik kita agar lebih adil, demokratis, dan antikorupsi. • • Kami sangat meyakini, partai politik yang berkualitas dan antikorupsi adalah salah satu pilar terpenting dalam menata Indonesia ke depan yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.

Rabu, 16 Mei 2012

kepemimpinan dan kekuasaan



KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN            
Karangan HARBANI PASOLONG

Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.Dapat ditangkap kesimpulan bahwa jika seseorang telah mulai berkeinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain , maka kegiatan kepemimpinan telah dimulai .Pengaruh dan kekuasaan dari seseorang pemimpin mulai nampak relevansinya.Membahas masalah kepemimpinan , bisa dimulai dari mana saja misal dari sudut pandang ilmu perilaku organisasi.Sehingga seringkali kepemimpinan dihubungkandengan manajemen.Usaha untuk meneliti kepemimpinan sudah dimulai sejak lama.Terutama di Amerikaserikat usaha tersebut mulai dilakukan oleh studi-studi dari Universitas Iowa sekitar tahun 1930 , di Universitas Ohio tahun 1945 , dan di Universitas Michigan tahun 1947.Mulai saat itu usaha untuk mengembangkan teori kepemimpinan melaju dengan pesat.Banyak teori – teori yang dikembangkan dari hasil penelitian tersebut diantaranya teorisifat , teori kelompok , atau teori pertukaran, teori situasional dan model kontijensi , teori path-goal , dan pendekatan social learning.Dan dari teori-teori itu banyak dikenalkan beberapa model dan gaya kepemimpinan.Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dalammempengaruhi perilaku orang lain.Dari gaya ini dapat diambil manfaatnya untuk dipergunakan sebagai pedoman bagi pemimipin dalam memimpin bawahan atau para pengikutnya.Gaya-gaya kepemimpinan yang banyak dikenalkan oleh para ahli teori kepemimpinanantara lain :

• Gaya kepemimpinan kontinum (otokratis dan demokratis )
• Gaya kepemimpinan managerial grid
• Gaya tiga dimensi dari Reddin
• Gaya empat system dari Likert

Dan gaya yang nampaknya paling akhir dalam perkembangan teorikepemimpinan di Amerika serikat yaitu gaya kepemimpinan situasional dariHersey dan Blanchard.Kepemimpinan situasional ini dihubungkan dengan perilaku pemimpin dengan bawahanatau pengikutnya.Adapun para pengikut ini dilihat sampai dimana tingkat kematangannya dalam hal maudan mampu melakukan tugas-tugasnya.Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin ini , ada dua hal yang biasanyadilakukan oleh pemimpin terhadap pengikutnya , yakni perilaku mengarahkan danmendukung .Perilaku mengarahkan hanya dalam komunikasi satu arah , sedang perilaku mendukungdiartikan dalam komunikasi dua arah.

Jika kedua norma perilaku itu dituangkan ke dalam dua hal yang berbeda maka akanmenghasilkan empat gaya kepemimpinan :
Gaya 1 ( G1 ) tinggi pengarahan rendah dukungan
Gaya 2 ( G2 ) tinggi pengarahan dan tinggi dukungan
Gaya 3 ( G3 ) tinggi dukungan dan rendah pengarahan
Gaya 4 ( G4 ) rendah dukungan dan rendah pengarahanOleh karena fungsi kepemimpinan yang lazim adalah membuat keputusan , maka gayakepemimpinan tersebut akan tampak jika dipraktekkan dalam hal melakukan pembuatankeputusan.Dalam hal empat gaya tersebut diatas , akan dapat rujukan tindakan-tindakan tertentu.Untuk gaya 1 , pemimpin suka terhadap tinggi pengarahan dan rendah dukungan.Tindakan seperti ini dapat dirujuk dengan tindakan instruksi. Artinya pemimpin senangsekali memberikan instruksi.Hal ini dilakukan olehnya , karena situasi kematangan bawahan masih rendah. Dan jika duhubungkan dengan sumber dan bentuk kekuasaanyang dimilikinya , maka pemimpin menyukai sumber kekuasaan paksaan.Untuk gaya 2 dirujuk dengan tindakan konsultasi. Karena masih banyak memberikan pengarahan dan juga perilaku mendukung.Tindakan ini dilakukan karena kematangan bawahan dalam keadaan sedang.Sumber kekuasaan yang ada padanya penghargaan dan legitimasi.Untuk gaya 3 tidakan pemimpin dirujuk dengan partisipasi. Ini berarti dukungan pemimpin lebih tinggi dibandingkan dengan pengarahannya.Karena kematangan bawahan sudah agak tinggi.Posisi control atas pemecahan masalah atau pembuatan keputusan dipegang bergantianantara pemimpin dan bawahan. Sumber kekuasannya adalah kekuasaan referensi daninformasi.Pemimpin menunjukkan kebolehannya sebagai orang yang lebih dari bawahannya , sehingga penampilan , bobot , dan perilakunya disenangi dan diterima oleh bawahannya.Bawahannya menyukainya dan menganggapnya sebagai sumber informasi , dan tempat bertanya.Sedangkan gaya ke 4 dirujuk dengan tindakan delegasi , karena rendah dukungan danrendah pengarahan.Hal ini dilakukan karena kematangan bawahan sudah pada taraf yangtinggi. Pemimpin sering mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahansehingga tercapai kesepakatan. Pembuatan keputusan didelegasikan kepada bawahan.Sumber kekuasaan yang ada padanya kekuasaan keahlian dan informasi.Istilah pemimpin atau kepemimpinan dengan kekuasaan mempunyai relevansi yangcukup tinggi.Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Untuk mempengaruhinya membutuhkan kekuasaan.Sedangkan kekuasaan itu sendiri merupakan potensi pengaruh dari seorang pemimpin.Ini berarti bahwa kekuasaan adalah merupakansuatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak , meyakinkan , dan mempengaruhi orang lain.


B. Pengertian  Kekuasaan
          Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam   suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan disini adalah kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.
          Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.
          Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat  ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.        
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi  identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana  legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
         
B. Obyek dan Tipe Kekuasaan
          Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang.
          Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:93), terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan.
          Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.  
          Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :
1.     Legitimasi materi wewenang
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga  penataan masyarakat yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan.
2.     Legitimasi subyek kekuasaan
Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara.  Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
a.    Legitimasi religius
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.
b.    Legitimasi eliter
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni (1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain  dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis. (2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukkannya. (3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli:   berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli. (4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.
          Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :
1.     Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan  pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2.     Legitimasi ideologi;  masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3.     Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4.     Legitimasi prosedural;  masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5.     Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat. 

C. Sumber Kekuasaan
          Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan, yaitu : (Inu Kencana, 200:54)
  1. Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.
  1. Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.
  1. Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.
  1. Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
  1. Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian  menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
  1. Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedag berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau kekekeluargaan.
Sedangkan menurut French dan Raven dalam Thoha yang dikutip Harbani Pasolong (Kepemimpinan Birokrasi, 2008:108-109)  membagi lima sumber kekuasaan :
  1. Kekuasaan paksaan (Coercive Power)
Didasarkan pada rasa takut, dengan demikian sumber kekuasaan diperoleh dari rasa takut.
  1. Kekuasaan legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan yang bersumber pada jabatan yang dipegang pemimpin, Secara formal semakin tinggi seseorang pemimpin, maka semakin besar kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk memepengaruhi orang lain, karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak dan wewenang yang diperoleh dari jabatan dalam organisasi, sehingga diharapkan saran-saran akan banyak diikuti orang lain.
  1. Kekuasaan keahlian (expert power)
Kekuasaan yang bersumber dari keahlian, kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorag pemimpin yang diwujudkan lewat rasa hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain.
  1. Kekuasaan Penghargaan (reward power)
Kekuasaan yang bersumber dari kemampuan untuk menyediakan  penghargaan atau hadiah bagi orang lain, misalnya gaji, promosi atau penghargaan jasa.
  1. Kekuasaan referensi (referent power)
Kekuasaan yang bersumber dari sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin.
Pada usaha berikutnya Raven bekerjasama dengan Kruglanski, menambahkan kekuasaan ke enam kekuasaan informasi.
  1. Kekuasaan Informasi (information power)
Kekuasaan yang bersumber karena adanya akses informasi yang dimiliki oleh pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh pengikutnya.  (Raven bekerjasama dengan Kruglanski)
Hersey  dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan yang ketujuh yakni kekuasaan hubungan.
  1. Kekuasaan hubungan (connection power)
Kekuasaan yang bersumber dari hubungan yang dijalin pemimpin dengan orang-orang penting baik dari luar ataupun di dalam organisasi. (Hersey dan Goldsmith).
Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan Politik,2006:68 , ada tiga teori sumber kekuasaan yakni:
  1. Teori Teokrasi.  Teori ini  menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang mengangkat orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan.
  2. Teori Hukum Alam. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat. Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang memegang kekuasaan.
  3. Teori Kekuatan. Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai pemegang kekuasaan.

C. Pembagian Kekuasaan
          Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli pemerintah mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh para birokrat.  Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
  • Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme.
  • Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan Wodrow Wilson dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga  politik (unsur pengatur undang-undang).
  • Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke.
  • Catur Praja
Kekuasaan dipegang  empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran.  Van Vollenhoven Mengkategorikan bentuk ini yakni :
a. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)
b. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)
c. Politie (Kekuasaan kepolisian)
d. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)
  • Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia, karena walaupun dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan legislatif, namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif.
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:61-63), dengan mengutip pendapat beberapa ahli mengatakan  pemisahan tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut :

Menurut Gabriel Almond
  1. Rule Making Function
  2. Rule Application Function
  3. Rule Adjudication Function
Menurut Montesquieu (1689-1755)
  1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang
  2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
  3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan)
Menurut John Locke (1632-1704)
  1. Kekuasaan  Legislatif
  2. Kekuasaan Eksekutif
  3. Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)
Menurut Lemaire
  1. Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang
  2. Bestuur : Kewenangan pemerintahan
  3. Politie: Kewenangan Penertiban
  4. Rechtsspraak: Kewenangan peradilan
  5. Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat