KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
Karangan HARBANI PASOLONG
Kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi
perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu.Dapat ditangkap kesimpulan bahwa jika seseorang telah
mulai berkeinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain , maka kegiatan
kepemimpinan telah dimulai .Pengaruh dan kekuasaan dari seseorang pemimpin
mulai nampak relevansinya.Membahas masalah kepemimpinan , bisa dimulai
dari mana saja misal dari sudut pandang ilmu perilaku
organisasi.Sehingga seringkali kepemimpinan dihubungkandengan
manajemen.Usaha untuk meneliti kepemimpinan sudah dimulai sejak
lama.Terutama di Amerikaserikat usaha tersebut mulai dilakukan oleh
studi-studi dari Universitas Iowa sekitar tahun 1930 , di Universitas Ohio
tahun 1945 , dan di Universitas Michigan tahun 1947.Mulai saat itu usaha untuk
mengembangkan teori kepemimpinan melaju dengan pesat.Banyak teori – teori yang
dikembangkan dari hasil penelitian tersebut diantaranya teorisifat , teori
kelompok , atau teori pertukaran, teori situasional dan model kontijensi ,
teori path-goal , dan pendekatan social learning.Dan dari teori-teori itu
banyak dikenalkan beberapa model dan gaya kepemimpinan.Gaya kepemimpinan adalah
suatu cara yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dalammempengaruhi perilaku
orang lain.Dari gaya ini dapat diambil manfaatnya untuk dipergunakan sebagai
pedoman bagi pemimipin dalam memimpin bawahan atau para
pengikutnya.Gaya-gaya kepemimpinan yang banyak dikenalkan oleh para ahli teori
kepemimpinanantara lain :
• Gaya kepemimpinan kontinum (otokratis dan
demokratis )
• Gaya kepemimpinan managerial grid
• Gaya tiga dimensi dari Reddin
• Gaya empat system dari Likert
Dan gaya yang nampaknya paling akhir
dalam perkembangan teorikepemimpinan di Amerika serikat yaitu gaya kepemimpinan situasional
dariHersey dan Blanchard.Kepemimpinan situasional ini dihubungkan dengan
perilaku pemimpin dengan bawahanatau pengikutnya.Adapun para pengikut ini
dilihat sampai dimana tingkat kematangannya dalam hal maudan mampu melakukan
tugas-tugasnya.Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin ini , ada dua hal
yang biasanyadilakukan oleh pemimpin terhadap pengikutnya , yakni perilaku
mengarahkan danmendukung .Perilaku mengarahkan hanya dalam komunikasi satu arah
, sedang perilaku mendukungdiartikan dalam komunikasi dua arah.
Jika kedua norma perilaku itu dituangkan
ke dalam dua hal yang berbeda maka akanmenghasilkan empat gaya kepemimpinan :
•
Gaya 1 ( G1 ) tinggi
pengarahan rendah dukungan
•
Gaya 2 ( G2 ) tinggi pengarahan dan tinggi
dukungan
•
Gaya 3 ( G3 ) tinggi dukungan dan rendah
pengarahan
•
Gaya 4 ( G4 ) rendah dukungan dan rendah
pengarahanOleh karena fungsi kepemimpinan yang lazim adalah membuat keputusan ,
maka gayakepemimpinan tersebut akan tampak jika dipraktekkan dalam hal
melakukan pembuatankeputusan.Dalam hal empat gaya tersebut diatas , akan dapat
rujukan tindakan-tindakan tertentu.Untuk gaya 1 , pemimpin suka terhadap tinggi
pengarahan dan rendah dukungan.Tindakan seperti ini dapat dirujuk dengan
tindakan instruksi. Artinya pemimpin senangsekali memberikan instruksi.Hal ini
dilakukan olehnya , karena situasi kematangan bawahan masih rendah. Dan
jika duhubungkan dengan sumber dan bentuk kekuasaanyang dimilikinya , maka
pemimpin menyukai sumber kekuasaan paksaan.Untuk gaya 2 dirujuk dengan tindakan
konsultasi. Karena masih banyak memberikan pengarahan dan juga perilaku
mendukung.Tindakan ini dilakukan karena kematangan bawahan dalam keadaan
sedang.Sumber kekuasaan yang ada padanya penghargaan dan legitimasi.Untuk gaya
3 tidakan pemimpin dirujuk dengan partisipasi. Ini berarti
dukungan pemimpin lebih tinggi dibandingkan dengan pengarahannya.Karena
kematangan bawahan sudah agak tinggi.Posisi control atas pemecahan masalah
atau pembuatan keputusan dipegang bergantianantara pemimpin dan bawahan. Sumber
kekuasannya adalah kekuasaan referensi daninformasi.Pemimpin menunjukkan
kebolehannya sebagai orang yang lebih dari bawahannya , sehingga
penampilan , bobot , dan perilakunya disenangi dan diterima
oleh bawahannya.Bawahannya menyukainya dan menganggapnya sebagai sumber
informasi , dan tempat bertanya.Sedangkan gaya ke 4 dirujuk dengan
tindakan delegasi , karena rendah dukungan danrendah pengarahan.Hal ini dilakukan
karena kematangan bawahan sudah pada taraf yangtinggi. Pemimpin sering
mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahansehingga tercapai kesepakatan.
Pembuatan keputusan didelegasikan kepada bawahan.Sumber kekuasaan yang ada
padanya kekuasaan keahlian dan informasi.Istilah pemimpin atau kepemimpinan
dengan kekuasaan mempunyai relevansi yangcukup tinggi.Kepemimpinan adalah suatu
proses untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Untuk mempengaruhinya
membutuhkan kekuasaan.Sedangkan kekuasaan itu sendiri merupakan potensi
pengaruh dari seorang pemimpin.Ini berarti bahwa kekuasaan adalah
merupakansuatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak
untuk mengajak , meyakinkan , dan mempengaruhi orang lain.
B. Pengertian Kekuasaan
Sebelum kita membahas apa itu legitimasi
kekuasaan, sebelumnya kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud
kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun
dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan disini adalah
kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang.
Maka kekuasaan negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.
Menurut
Miriam Budiardjo dalam Frans
Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau wewenang adalah ”kekuasaan yang
dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang
adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk
memberikan perintah.
Terhadap
wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah
pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap
wewenang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah
mempunyai dasar atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap
masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui
hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat
masyarakat ataukah tidak. Apabila
masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu
dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan
dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat
dan melaksanakan keputusan politik.
Secara etimologi legitimasi berasal dari
bahasa latin “lex” yang berarti
hukum. Kata legitimasi identik dengan
munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara
sederhana legitimasi adalah kesesuaian
suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada,
baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan
yang sudah lama tercipta secara sah.
B. Obyek dan Tipe Kekuasaan
Suatu
sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan
mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan
demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk
unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya
pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi
dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan
dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah
yang berwenang.
Menurut
Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami
Ilmu Politik, 1999:93), terdapat tiga objek dalam sistem politik yang
memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara
terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan
umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan
pemerintahan.
Sementara
Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi
agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek
legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin
politik dan kebijakan.
Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk
legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :
1.
Legitimasi materi wewenang
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya:
untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi
dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang
sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif dan dalam
kekuasaan (eksekutif) negara sebagai
lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan.
2.
Legitimasi subyek kekuasaan
Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang
atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat
dan untuk memegang kekuasaan negara.
Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
a.
Legitimasi religius
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang
adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris
khususnya penguasa.
b.
Legitimasi eliter
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus
suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan
bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak
dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam
yakni (1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta
atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga
dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap
berhak untuk memimpin rakyat secara politis. (2) legtimasi ideologis
modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang
mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu
memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya
kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka
menganggap diri berhak untuk menentukkannya. (3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli: berdasarkan argumentasi bahwa materi
pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks
sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang
betul-betul ahli. (4) legitimasi
pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan
dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak
untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya
berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan
nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.
Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan
prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi
dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :
1.
Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus
memimpin masyarakat.
2.
Legitimasi ideologi; masyarakat
memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut
dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan
tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis
seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3.
Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan
kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa
kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang
tertentu.
4.
Legitimasi prosedural; masyarakat
memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut
mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
5.
Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan
kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin
kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
C. Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara mengapa seseorang
atau sekelompok orang memiliki kekuasaan, yaitu : (Inu Kencana, 200:54)
- Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan
kekuasaan melalui pengangkatan.
- Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan
atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau
biasa disebut dengan kudeta.
- Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang
mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.
- Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai
pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah
orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan
pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran
(gaji).
- Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak
menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti
postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan
dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
- Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki
keteranga sehingga orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu
yang bersangkutan membatasi keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh
kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang
biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan
keterkaitan dengan seseorang yang memang sedag berkuasa, hal ini biasanya
disebut denga hubunga kekerabatan atau kekekeluargaan.
Sedangkan
menurut French dan Raven dalam Thoha yang dikutip Harbani Pasolong (Kepemimpinan Birokrasi, 2008:108-109) membagi lima sumber kekuasaan :
- Kekuasaan paksaan (Coercive Power)
Didasarkan pada rasa takut, dengan demikian sumber kekuasaan diperoleh dari
rasa takut.
- Kekuasaan legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan yang bersumber pada jabatan yang dipegang pemimpin, Secara formal
semakin tinggi seseorang pemimpin, maka semakin besar kekuasaan legitimasinya
mempunyai kecenderungan untuk memepengaruhi orang lain, karena pemimpin
tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak dan wewenang yang diperoleh dari
jabatan dalam organisasi, sehingga diharapkan saran-saran akan banyak diikuti
orang lain.
- Kekuasaan keahlian (expert power)
Kekuasaan yang bersumber dari keahlian, kecakapan atau pengetahuan yang
dimiliki seseorag pemimpin yang diwujudkan lewat rasa hormat dan pengaruhnya
terhadap orang lain.
- Kekuasaan Penghargaan (reward power)
Kekuasaan yang bersumber dari kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain,
misalnya gaji, promosi atau penghargaan jasa.
- Kekuasaan referensi (referent power)
Kekuasaan yang bersumber dari sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin.
Pada usaha
berikutnya Raven bekerjasama dengan Kruglanski, menambahkan kekuasaan ke enam
kekuasaan informasi.
- Kekuasaan Informasi (information power)
Kekuasaan yang bersumber karena adanya akses informasi yang dimiliki oleh
pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh pengikutnya. (Raven bekerjasama dengan Kruglanski)
Hersey dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan yang
ketujuh yakni kekuasaan hubungan.
- Kekuasaan hubungan (connection power)
Kekuasaan yang bersumber dari hubungan yang dijalin pemimpin dengan
orang-orang penting baik dari luar ataupun di dalam organisasi. (Hersey dan
Goldsmith).
Menurut
beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu
Negara dan Politik,2006:68 , ada tiga teori sumber kekuasaan yakni:
- Teori Teokrasi. Teori
ini menyatakan bahwa kekuasaan itu
datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang mengangkat orang untuk mewakili tuhan
mengatur pemerintahan.
- Teori Hukum Alam. Teori ini
menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat.
Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang
memegang kekuasaan.
- Teori Kekuatan. Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara
masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai pemegang kekuasaan.
C. Pembagian Kekuasaan
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60)
mengutip pendapat para ahli pemerintah mengusulkan pendapat untuk membagi atau
memisahkan kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan
diikuti oleh para birokrat.
Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
- Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator
(authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi
yang ada hanya pihak eksekutif saja dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut
dan pemerintahan fasisme.
- Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan
Wodrow Wilson dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara
pemerintahan) dan lembaga politik (unsur
pengatur undang-undang).
- Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar
yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke.
- Catur Praja
Kekuasaan dipegang empat badan.
Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak
akan tampak kemubaziran. Van Vollenhoven
Mengkategorikan bentuk ini yakni :
a. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)
b. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)
c. Politie (Kekuasaan kepolisian)
d. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)
- Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia,
karena walaupun dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif,
eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan legislatif, namun dalam
kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya terdiri dari anggota
legislatif.
Inu Kencana (Ilmu Politik,
2000:61-63), dengan mengutip pendapat beberapa ahli mengatakan pemisahan tersebut secara lengkap adalah
sebagai berikut :
Menurut Gabriel Almond
- Rule Making Function
- Rule Application Function
- Rule Adjudication Function
Menurut
Montesquieu (1689-1755)
- Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang
- Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
- Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan
peradilan)
Menurut
John Locke (1632-1704)
- Kekuasaan
Legislatif
- Kekuasaan Eksekutif
- Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)
Menurut
Lemaire
- Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang
- Bestuur : Kewenangan pemerintahan
- Politie: Kewenangan Penertiban
- Rechtsspraak: Kewenangan peradilan
- Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan
masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar